Jumat, 20 April 2012

Ummat Mempertanyakan Ulama


Oleh Drs. Mukhlis Denros
Risalah yang dibawa Nabi Muhammad Saw telah selesai tapi tugas beliau sebagai penyampai kebenaran bagi ummat manusia belum lagi tamat, kader-kader penyampai da’wah sangat diperlukan. Tugas ulama adalah meneruskan tugas nabi, sebagaimana sabda beliau, ”Ulama itu adalah pewaris pada nabi”. Tugas para nabi adalah menyerukan kepada yang baik [ma’ruf] dan mencegah dari yang [buruk] mungkar, firman Allah, ”Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah” [Ali Imran 3;110] atau ”Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan berilah pelajaran yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik pula” [An Nahl 16;125].

Dari masa ke masa keberadaan ulama di tengah masyaraka sanga besar artinya, mereka diibaratkan, ”tongkat pemandu jalan di siang hari, dan obor penerang dimalam hari”, mereka bukan saja ahli dibidang agama, tetapi mereka adalah kelompok yang terpanggil untuk memperbaiki masyarakat, menangkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami setiap orang serta siap menawarkan strategi dan altenatif pemecahan masalah. Cukup jelas bahwa para nabi merupakan mercusuar yang tertinggi tentang kesempurnaan kemanusiaan. Oleh sebab itu, adakah suatu jabatan yang lebih mulia dan lebih tinggi yang melebihi para alim ulama itu, yang telah ditetapkan sebagai pewaris pada nabi ? diterangkan dalam sebuah hadits , ”Akan ditimbang nanti tinta para alim ulama dan darah para pahlawan-pahlawan yang mati syahid pada hari kiamat”.

Setiap orang pasti mengerti bahwa darah yang dialirkan untuk membela agama Allah atau fisabilillah adalah semahal-mahalnhya darah yang dikorbankan seorang manusia. Maka jika tinta kaum ulama yang digunakan mengarang kitab-kitab untuk kemanfaaan ummat manusia itu dapat menyamai darah orang yang matai syahid, bahkan ada sebagian riwayat yang menerangkan bahwa tinta itu bahkan melebihi nilainya, maka itulah suatu bukti yang jelas, sampai dimana islam memberikan kedudukan yang amat utama dan tertinggi bagi para ulama.

Dahulu ulama bagi masyarakat islam khususnya sebagai tepat bertanya berbagai persoalan hidup, mereka tidak memandang asal ulama tersebut. Bagi mereka ulama adalah milik ummat, bukan milik satu golongan sehingga berlakulah pa yang difatwakan oleh seorang ulama diperbuat oleh masyaraka karena ulama tersebut menyampaikan fatwa sesuai dengan kebenaran Al Qur’an dan Hadits, yaitu dua pusaka yang telah ditinggalkan nabi, Rasulullah bersabda, ”Sekali-kali kamu tidak akan sesat selamanya bila kamu berpegang teguh dengan dua hal yaitu Al Qur’an dan Sunnahku”.

Kini bagi masyarakat islam khususnya, ulama bukan lagi tempat bertanya segala persoalan hidup, bukan berarti ummat telah tahu jawaban segala persoalan. Hal ini terjadi karena terlalu banyak ulama yang bertipe su’ artinya ulama jelek, tidak sesuai dengan aspirasi ummat dan bertentangan dengan da’wah Rasulullah, beliau telah mensinyalir adanya ulama yang jelek atau ulama yang jahat itu dengan sabdanya, ”Celaka bagi ummatku, akibat dari perbuatan ulama su”.

Perbuatan jelek seseorang tidak seburuk akibat pada masyarakat bila dibandingkan dengan perbuatan seorang ulama. Karena seorang ulama dipandang masyarakat sebagai pemuka. Orang yang berada di depan bila mempunyai gerak perbuatan apa saja, orang dibarisan belakang akan tahu. Tetapi sebaliknya, bila orang yang berada dibarisan belakang berbuat sesuatu, orang depan sukar mengetahuinya, bila tiada alat pengawas. Demikian pula perbuatan ulama. Gerak gerik dan tingkah laku ulama cepat diketahui masyarakat, karean letak ulama di tengah-tengah masyarakat bagaikan orang yang dibarisan depan, mudah dikenal dan diketahui gerak-geriknya, ”Sejelek-jelek yang paling jelek ialah ulama yang jelek, dan sebaik-baik dari yang paling baik adalah ulama yang baik” [Hakim].

Tipe mereka yang dapat dimasukkan dalam bentuk ulama jelek adalah; ulama pemberi fatwa sesat, ulama yang membangun dinding fanatisme buta, ulama penyebar fitnah, ulama tukang jilat dan ulama yang tergelincir kepada suatu perbuatan nista. Ali bin Abi Thalib pernah berkata, ”Lihatlah apa yang dibicarakan seseorang tapi jangan dilihat siapa yang berbicara”. Artinya segala fatwa yang disampaikan kalau sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya terimalah dan amalkan. Jangan dilihat orang yang menyampaikannya, mungkin rumah tangganya berantakan, mungkin dia hanya pandai berfatwa tapi enggan mengamalkan. Pada satu sisi maksud ucapan Ali bin Abi Thalib baik tapi pada sisi lain ummat tidak akan dapat menerima begitu saja karena bertentangan dengan kehendak Allah, Allah mengancam para ulama, ”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat ? Amat besar kebencian Allah bahwa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan”.[ Ash Shaf; 2-3].

Sejak dahulu hingga kini terlalu banyak ulama yang dapat membenahi kehidupan seseorang agar menjadi baik, dia memberi penerangan kepada orang lain sementara dia dalam kegelapan, ibarat lilin, terang orang di sekitarnya tapi sang lilin terbakar, sibuk mengajak orang, diri dan keluarga terabaikan, ”Mengapa kamu suruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedang kamu melupakan kewajiban sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab [Taurat] ? Maka tidakkah kamu berfikir ?” [Al Baqarah 2;44].

Suatu ketika Hasan Al Bisyri didatangi oleh para budak, mereka mengharapkan agar beliau besok jum’at berkenan menyampaikan khutbah tentang pembebasan budak dan keutamaannya. Mereka sangat antusias sekali akan merdeka bila mendengar fatwa sang ulama sekaliber Hasan Al Bisyri. Dua dan tiga minggu, dua dan tiga bulan hingga mendekati setahun belum juga terdengar fatwa itu, walaupun sang ulama sudah sering pula menyampaikan khutbah dengan tema lain. Tepat satu tahun permohonan pada budak itu dikabulkan oleh Hasan Al Bisyri dengan berapi-api disambut dengan kesadaran oleh para tuan untuk memerdekakan budaknya.

Tentu saja para budak bertanya, kenapa sekarang mereka bisa merdeka ? tidak setahun yang lalu ? sang ulama kharismatik itu menjawab,”Ketika kalian datang kepadaku pertama kali tentang itu, aku tidak berdaya dan tidak mampu menyampaikannya. Sekaranglah baru saya punya uang, tadi pagi saya sudah memerdekakan seorang budak”, itulah sebuah keteladanan yang dicontohkan oleh ulama kita dahulu, masih adakah ulama yang demikian ? kita berhadap diantara kebodohan ummat dan kelemahan ulama masih ada ulama yang mampu tampil dengan uswatun hasanah yaitu keteladanan yang baik.

Sekarang sangat sulit mencari orang yang dapat diteladani, baik orangtua, guru, ulama, politisi atau siapa sajalah, nampaknya keteladanan termasuk barang yang langka. Walaupun satu ketika dia menampakkan keteladanan, tapi semu nampaknya, hanya sebatas mencari simpati dari masyarakat. Inilah keteladanan yang menipu. Seorang sahabat menyatakan bahwa dia mengenal seseorang, maka Rasulullah menyatakan bahwa jangan mudah mengatakan kita kenal dengan seseorang sebelum nampak kepribadiannya dalam kehidupan sehari-hari. Pernahkah engkau jalan bersama dengannya, makan bersama dengannya dan tidur bersama dengannya. Sahabat itu menggelengkan kepala, berarti kamu tidaklah mengenalnya.

Sekarang ulama bukan lagi tempat bertanya tapi dipertanyakan yang menyangkut persoalan pribadi; darimana asalnya, partai apa yang diperjuangkannya, apa golongannya, bagaimaan keadaan rumah tangganya dan persoalan lain yang tidak terlalu penting barangkali tapi ini prinsip bagi masyarakat. Bahkan ada sebuah masjid tidak akan mengundang sang ustdz, mubaligh, ulama dan kiyai untuk menyampaikan fatwanya sebelum mengetahui bagaimana komitmennya dalam da’wah. Apakah berda’wah hanya musiman dan menunggu undangan, berda’wah mengharapkan amplop dan sebagainya, wallahu a’lam. [Harian Mimbar Minang Padang, 06042001]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar